JAKARTA, TS – Mahkamah Konstitusi memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil Pilkada 2020, dari semula berakhir pada Desember 2024 menjadi berhenti saat kepala daerah baru hasil pilkada serentak 2024 dilantik. Dengan adanya putusan ini, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di 270 daerah akan menjabat lebih lama hingga beberapa bulan. Namun, ketentuan itu hanya berlaku bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya tidak melewati lima tahun.
MK mengambil putusan ini karena memaksimalkan masa jabatan kepala daerah tanpa mengganggu penyelenggaraan pilkada serentak adalah wujud keseimbangan hak konstitusional para kepala daerah dan wakil kepala daerah. Tak hanya itu, langkah tersebut juga memberikan kepastian hukum atas terselenggaranya pilkada serentak.
”Di samping itu, menjadikan waktu pelantikan sebagai batas masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020 dapat mendekatkan dan sekaligus mewujudkan ketentuan Pasal 162 Ayat (1) dan (2) UU 10/2016,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan, Rabu (20/3/2024).
Pasal 201 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyatakan, kepala daerah hasil Pilkada 2020 menjabat hingga tahun 2024. Sementara Pasal 162 Ayat (1) dan (2) UU yang sama mengatur, kepala daerah menjabat selama lima tahun.
MK menolak permohonan 11 kepala daerah yang meminta pelaksanaan pilkada serentak dibagi dua, yaitu November 2024 untuk kepala daerah hasil pemilihan sebelum 2020 dan April 2025 untuk kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020. Sebab, menurut MK, pembagian penyelenggaraan pilkada itu justru akan menghilangkan keserentakan yang telah dirancang oleh pembentuk undang-undang. Apalagi, untuk melaksanakan pilkada serentak secara nasional tersebut, pembentuk undang-undang sudah menyusun desain penyelenggaraan transisi dengan menyelenggarakan pilkada serentak dalam beberapa gelombang mulai tahun 2015, 2017, 2018, 2020, lalu November 2024.
Permohonan pilkada digelar dalam dua tahap tersebut diajukan oleh Gubernur Jambi Al Haris, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi, Bupati Pesisir Barat Agus Istiqlal, Bupati Malaka Simon Nahak, Bupati Kebumen Arif Sugiyanto, Bupati Malang Sanusi, Bupati Nunukan Asmin Laura, Bupati Rokan Hulu Sukiman, Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto, Wali Kota Bontang Basri Rase, dan Wali Kota Bukittinggi Erman Safar. Mereka didampingi oleh kuasa hukumnya, Febri Diansyah dkk dari Visi Law Office.
Dalam pertimbangan saat MK menolak mengubah jadwal pilkada, Saldi menyebut kembali putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang menegaskan pandangan MK bahwa pelaksanaan pilkada serentak harus mengikuti ketentuan Pasal 201 Ayat (8) UU Pilkada, yaitu bulan November 2024. Walaupun hal ini tidak dicantumkan di dalam amar putusan, melalui putusan tersebut MK penting menegaskan bahwa pertimbangan hukum MK punya kekuatan hukum mengikat. Sebab, pertimbangan hukum merupakan ratio decidendi dari putusan secara keseluruhan.
Namun, MK mengabulkan permohonan kepala daerah-kepala daerah itu terkait dengan Pasal 201 Ayat (7) UU No 10/2016, tidak harus berhenti pada akhir 2024. MK menyatakan, pasal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum, bertentangan dengan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, dan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta melanggar prinsip pemilihan dan prinsip demokrasi yang dijamin dengan UUD 1945.
MK juga menyatakan mampu memahami keinginan para pemohon yang ingin memaksimalkan masa jabatannya hingga pelantikan kepala daerah baru hasil Pilkada 2024.
Dalam putusannya, MK juga menyinggung pentingnya pelantikan kepala daerah secara serentak. Namun, UU Pilkada saat ini tidak mengatur keserentakan pelantikan kepala daerah hasil pilkada serentak tahun 2024 tersebut.
MK menilai bahwa penyelenggaraan pilkada serentak harus diikuti pula dengan pelantikan yang serentak pula. Hal ini penting agar tercipta sinergi kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, serta untuk menyinkronkan tata kelola pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dengan demikian, tercipta kesamaan waktu mulai dan berakhirnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak.
Mengacu pada UU Pilkada, pemungutan suara akan digelar pada November 2024. Adapun pelantikan kepala daerah dilaksanakan setelah proses sengketa hasil pilkada di MK dalam kurun waktu 45 hari kerja selesai digelar. Namun, tidak tertutup kemungkinan MK memerintahkan dilaksanakannya pemungutan suara ulang atau penghitungan suara ulang.
Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan agar tidak menghambat transisi kepemimpinan pemerintahan daerah dan jalannya roda pemerintahan daerah, MK menyatakan, pelantikan kepala daerah serentak dikecualikan bagi daerah yang melaksanakan pemilihan ulang, pemungutan suara ulang, atau penghitungan suara ulang.
Kuasa hukum pemohon, Donal Fariz, saat ditemui seusai sidang, mengungkapkan, putusan MK tersebut membuat pemerintah tidak perlu lagi merekrut penjabat daerah di 270 daerah yang melaksanakan pemilihan pada 2020.
Keputusan baik itupun tak lepas dari perjuangan 13 kepala daerah yang melakukan gugatan di MK.
Pun, keterlibatan Bupati Joune Ganda bersama Ketua Umum, Sekjen dan para petinggi APKASI patut mendapat acungab jempol. Ucapan bangga patut dilantunkan kepada Bupati Joune Ganda yang telah memberikan kontribusi positif di skala nasional.
Bupati Joune Ganda ketika dimintai tanggapan soal putusan MK ini mengatakan, bahwa sejak awal dia optimis gugatan pemotongan masa 13 kepala daerah hasil pilkada serentak tahun 2020 itu bakal di kabulkan oleh hakim MK.
“Yang diperjuangkan oleh 13 kepala daerah se- Indonesia ini esensinya secara umum adalah tuntutan atas asas keadilan hukum dan hak demokratis,” Ungkap Waketum APKASI Joune Ganda dalam kehadirannya pada sidang pembacaan putusan di Mahkamah Konstitusi, bersama bersama Ketum APKASI. (Redaksi)